PERSPEKTIF PEREMPUAN BUGIS DALAM TRADISI DUI MENRE PERNIKAHAN ADAT BUGIS DI LABUHAN TERATA SUMBAWA BESAR
Keywords:
Dui menre, perempuan Bugis, patriarki, kesetaraan gender, tradisi pernikahanAbstract
Penelitian ini mengkaji secara mendalam perspektif perempuan Bugis terhadap tradisi dui menre atau uang panai dalam pernikahan adat Bugis di Dusun Labuhan Terata, Kabupaten Sumbawa. Tradisi dui menre merupakan pemberian uang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai bentuk penghargaan dan pembiayaan pesta pernikahan. Praktik ini memiliki makna simbolik yang kuat, yaitu sebagai wujud kehormatan, gengsi, dan peneguhan status sosial keluarga. Namun, di sisi lain, tradisi ini juga menimbulkan konsekuensi sosial dan gender, di mana perempuan sering kali diposisikan sebagai objek bernilai ekonomi dan jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk memahami makna dan pengalaman perempuan Bugis dalam menjalani tradisi tersebut. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam dengan perempuan Bugis, tokoh adat, dan keluarga, serta dokumentasi. Analisis data dilakukan menggunakan model interaktif Miles dan Huberman melalui tahap reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian perempuan Bugis menilai dui menre sebagai simbol penghormatan dan kebanggaan keluarga, sementara sebagian lainnya memandangnya sebagai bentuk ketimpangan yang menegaskan dominasi laki-laki dalam sistem patriarki. Tradisi ini, dari perspektif feminisme Kate Millett (Sexual Politics), mencerminkan relasi kuasa yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Oleh karena itu, diperlukan reinterpretasi tradisi dui menre agar tetap menjaga nilai budaya Bugis, tetapi selaras dengan prinsip kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat modern.